>

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ
Dari ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu dia berkata,
“Pada suatu hari, ketika kami duduk bersama Rosululloh, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Hingga ia duduk di hadapan Nabi, lalu menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Lalu ia berkata, “Ya Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam?” Maka Rosululloh bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Illah yang diibadahi dengan hak, kecuali Alloh, dan Muhammad adalah utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitulloh, jika engkau mampu melakukannya. Orang itu berkata, “Engkau benar.” Dia (rowi) berkata, “Maka kamipun terheran-heran dengannya. Ia bertanya kepada Rosululloh, namun ia sendiri yang membenarkannya.” Lalu orang itu bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku tentang Iman?” Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Alloh, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, dan hari akhir serta engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” Dia berkata, “Engkau benar.” Lalu ia berkata lagi, “Kabarkanlah kepadaku tentang Ihsan?” Rosululloh bersabda, “Engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Dia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang hari Kiamat?” Beliau bersabda, “Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui dari yang bertanya.” Dia berkata, “Kalau begitu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya?” Beliau bersabda, “Ketika budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing serta berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” Dia berkata, “Kemudian orang itu pergi. Lalu aku tidak bertemu (dengan Rosululloh) beberapa waktu. Kemudian Rosululloh berkata kepadaku, “Ya ‘Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Rosululloh bersabda, “Dia adalah Jibril, Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.”
(HR. Muslim)

Dari hadits ini dapat dipetik banyak faidah, diantaranya adalah:
1. Di antara perilaku Nabi adalah bermajelis dengan para sahabatnya. Perilaku ini menunjukkan bagaimana baiknya budi pekerti beliau. Seorang manusia sepatutnya bergaul dengan sesamanya, dan bermajelis (dengan mereka) serta tidak mengucilkan diri dari mereka. 
2. Bergaul dengan sesama lebih baik daripada mengisolasi diri, selama ia tidak mengkhawatirkan agamanya, jika dia mengkhawatirkan agamanya, maka mengisolasi diri lebih baik, berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Akan terjadi sebentar lagi, dimana sebaik-baik harta seseorang adalah kambing yang diikutinya, hingga puncak bukit dan tempat yang dicurahi hujan.”
(HR. Bukhari (Al Iman/19/Fath)).
3. Para malaikat bisa menjelma di hadapan manusia dalam sosok manusia, karena Jibril muncul di hadapan para sahabat dengan gambaran yang telah disebutkan dalam hadits ini (Lelaki yang berambut hitam legam, berpakaian sangat putih dan tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang mengenalnya.
4. Baiknya etika seorang yang belajar di hadapan gurunya, dimana Jibril duduk di hadapan Nabi dengan cara duduk yang menunjukkan adab sopan santun, memasang telinganya, siap untuk menerima semua pelajaran yang akan disampaikan kepadanya, lalu dia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.
5. Bolehnya memanggil Nabi dengan namanya berdasarkan ucapan Jibril, “Wahai Muhammad,” ini mengandung kemungkinan hal itu terucapkan sebelum adanyab larangan, yakni sebelum adanya larangan dari Alloh agar tidak memanggil seperti itu dalam Firman-Nya:
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). ” (QS. An Nuur: 65)
Menurut salah satu penafsiran dari ayat ini, atau bisa juga mengandung kemungkinan bahwa panggilan seperti itu sudah menjadi kebiasaan orang arab badui yang datang kepada rosul, sehingga mereka memanggil dengan beliau dengan namanya, “Ya Muhammad,” dan inilah yang lebih dekat dengan kebenaran. Karena kemungkinan yang pertama butuh pada (pembuktian) sejarah.
6. Seorang boleh bertanya tentang sesuatu yang telah diketahui dalam rangka memberikan pelajaran kepada orang yang belum mengetahui, karena Jibril telah mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, berdasarkan ucapannya dalam hadits, “Engkau benar,” akan tetapi jika si penanya bermaksud agar orang yang berada di sekitar orang yang menjawab tersebut dapat mengambil pelajaran, maka yang seperti itu dapat dianggap memberikan pelajaran kepada mereka.
7. Orang yang menjadi sebab dapat dihukumi sama dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut secara langsung, jika perbuatan itu dilandasi oleh suatu sebab. Berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Dia adalah Jibril, Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.” Padahal orang yang memberikan pengajaran secara langsung (kepada para sahabat) adalah Rosululloh. Akan tetapi karena Jibril dengan pertanyaan yang ia lontarkan itu, maka Rosululloh menganggapnya sebagai orang yang memberikan pengajaran (kepada mereka).
8. Penjelasan bahwa rukun Islam ada lima, karena Nabi menjawab dengan jawaban yang seperti beliau Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang hak diibadahi dengan benar, kecuali Alloh, dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, membayat zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau berhaji ke Baitulloh, jika engkau mampu untuk melakukannya.”
9. Seseorang harus mengikrarkan syahadat dengan lisannya dan meyakini dengan hatinya, bahwa tidak ada Illah yang hak diibadahi dengan benar, kecuali Alloh. Maka ‘Ilah” adalah tidak ada sesembahan yang hak kecuali Alloh. Engkau bersaksi dengan lisanmu dan meyakini dengan hatimu bahwa tidak ada sesembahan apapun yang hak –dari segenap makhluk, baik dari kalangan nabi, wali orang-orang sholih, pepohonan, bebatuan dan lain-lainnya, kecuali Alloh. Dan segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh adalah batil. Sebagaimana Firman Alloh Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Alloh) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Alloh, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batil, dan sesungguhnya Alloh, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62).
10. Agama ini tidak sempurna kecuali dengan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Beliau adalah Muhammad bin Abdillah Al Quraisyi (dari suku Quraisy) Al Hasyimi (dari kalangan Bani Hasyim). Barangsiapa ingin mengetahui secara lengkap ihwal rosul yang mulia ini, hendaknya ia membaca Al Qur’an, hadits dan kitab-kitab tarikh (buku sejarah Islam).
11. Rosululloh telah menyatukan syahadat “Laa Ilaaha Illalloh” dan “Muhammad Rosululloh” ke dalam satu rukun. Yang demikian itu karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengan dua perkara ini, yakni: Ikhlas untuk Alloh (memurnikan peribadatan hanya untuk Alloh semata). Inilah yang dikandung oleh syahadat bahwa tiada ilah yang diibadahi dengan benar kecuali Alloh. Dan mutaba’ah (mengikuti), maka inilah yang dikandung dari syahadat bahwa Muhammad utusan Alloh. Oleh karena itu nabi menyatukan kedua syahadat ini ke dalam satu rukun dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Islam dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tiada Ilah yang diibadahi dengan benar kecuali Alloh, dan Muhammad adalah hamba dan rosul-Nya, mendirikan sholat……..” dst.
(HR. Bukhari dan Muslim).
12. Keislaman seorang hamba tidak sempurna hingga ia mendirikan sholat. Mendirikan sholat yaitu dengan mengerjakan sholat tersebut dengan istiqomah, sesuai dengan tuntunan yang telah dibawa oleh syari’at. Mendirikan sholat ini ada yang dikerjakan sekedar yang wajib-wajibnya saja, dan ada yang dikerjakan secara sempurna. Yang wajib dalam sholat adalah dengan melakukan batas minimal dari hal-hal yang telah diwajibkan dalam sholat tersebut. Sedangkan pelaksanaan sholat yang sempurna yaitu dengan melaksanakan berbagai hal yang dapat menyempurnakan pelaksanaan sholat tersebut sesuai dengan apa yang telah dikenal dalam Al Qur’an, hadits-hadits nabi dan ucapan-ucapan para ulama.
13. Keislaman seorang hamba tidak sempurna hingga menunaikan zakat. Zakat adalah harta yang diwajibkan berupa harta-harta yang dikenai zakat, mengeluarkan dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Alloh telah menjelaskan hal ini dalam surat At Taubah dalam firman Alloh Ta’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Alloh dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Alloh; dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 60).
14. Adapun puasa Ramadhan, ialah beribadah kepada Alloh dengan menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan, dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Ramadhan adalah bulan diantara bulan Sya’ban dan bulan Syawwal. Adapun berhaji ke Baitulloh, ialah menuju Makkah untuk melaksanakan manasik haji dan disyaratkan adanya kemampuan, karena secara umum di dalam pelaksanaannya ditemui berbagai hal yang memberatkan dan menyulitkan. Tidak hanya pada ibadah haji semata, ternytata seluruh kewajiban yang disyari’atkan adanya faktor kemampuan. Berdasarkan firman Alloh Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kemampuanmu.” (QS. At-Taghaabun: 16).
15. Dan diantara faidah yang telah dibakukan oleh para ulama adalah, “tidak ada kewajiban bersama ketidakmampuan, dan tidak ada keharaman bersama keadaan darurat.”
16. Utusan dari kalangan Malaikat (Jibril) mensifati utusan dari kalangan manusia (Rosululloh) dengan sifat benar (jujur). Sungguh Jibril telah berlaku benar pada apa yang telah ia sifatkan kepada Rosululloh dengan sifat yang benar (jujur), karena memang Nabi adalah makhluk yang paling benar.
17. Kecerdasan para sahabat yang mana mereka merasa keheranan. Bagaimana mungkin seorang yang bertanya menilai benar orang yang ditanya. Pada umumnya, orang yang bertanya tidak mengetahui. Sedangkan orang yang tidak mengetahui tidak mungkin menghukumi ucapan seseorang bahwa dia benar atau dusta. Akan tetapi kebenaran itu hilang setelah Nabi mengatakan, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.”
18. Keimanan mencakup enam perkara: Beriman kepada Alloh, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan yang buruk.
19. Pembedaan antara Islam dan Iman. Hal ini ketika kedua kata itu disebutkan secara bersama-sama. Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan (amalan zhahir) sedangkan iman dengan amalan-amalan hati (batin). Akan tetapi ketika salah satu kata itu disebutkan begitu saja (tanpa diiringi dengan yang lainnya), maka masing-masing dari kata itu mencakup kata yang lainnya. Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (QS. Al Maa’idah: 3).
Dan Firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam.” (QS. Ali Imran: 85). Mencakup Islam dan Iman. Firman Alloh Ta’ala:
وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan bahwasannya Alloh bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 19). Dan ayat-ayat serupa lainnya yang mencakup iman dan Islam. Demikian pula dengan Firman-Nya:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin…” (QS. An Nisaa’: 92) mencakup Islam dan iman. Adapun jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing dari keduanya ditafsirkan dengan makna yang telah ditunjukkan oleh hadits ini.
20. Keimanan kepada Alloh adalah rukun iman yang paling penting dan paling besar. Oleh karena itu, Nabi menyebutkannya lebih dahulu. Beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh.” Keimanan kepada Alloh mencakup keimanan kepada wujud-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Jadi, keimanan kepada Alloh tidak hanya beriman kepada wujud-Nya semata. Akan tetapi harus mencakup keimanan kepada empat perkara ini, yakni beriman kepada wujud, rububiyah, uluhiyah, nama dan sifat-sifat-Nya.
21. Menetapkan adanya Malaikat. Malaikat adalah makhluk ghaib yang telah Alloh sifati dengan banyak sifat dalam Al Qur’an dan telah disifati oleh Nabi dalam hadits-haditsnya, cara beriman kepada mereka adalah dengan mengimani nama-nama mereka yang telah diketahui. Sedangkan para malaikat yang belum diketahui nama-namanya, kita mengimaninya secara global dan kita harus mengimani amalan-amalan yang mereka kerjakan yang telah kita ketahui. Kitapun mengimani sifat-sifat yang mereka miliki sebatas apa yang telah kita ketahui. Di antaranya, Nabi pernah melihat Malaikat Jibril –dalam bentuk aslinya- memiliki enam ratus sayap yang menutupi ufuk. Kewajiban kita berkenaan dengan Malaikat adalah kita mempercayai dan mencintai mereka, karena mereka adalah para hamba Alloh yang senantiasa melaksanakan perintah-Nya. Alloh Ta’ala berfirman:
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا يَسْتَحْسِرُونَ يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ
“Dan Malaikat yang ada di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al Anbiyaa’: 19-20).
22. Wajibnya beriman dengan kitab-kitab yang Alloh turunkan kepada rosul-Nya. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rosul-rosul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan)…” (QS. Al Hadiid: 25).
Kita beriman kepada semua kitab yang telah Alloh turunkan kepada rosul-rosul-Nya, akan tetapi kita mengimaninya secara global dan mempercayai bahwa kitab-kitab itu adalah haq (benar). Adapun secara rinci, kitab-kitab terdahulu mengalami penyelewengan, perubahan, penggantian. Seseorang tidak mungkin dapat menilai mana yang hak dan mana yang batil. Atas dasar itu, kita katakan, “Kita beriman kepada kitab-kitab yang telah Alloh turunkan tersebut secara global. Adapun secara rinci kita merasa khawatir itu adalah diantara hal-hal yang telah diselewengkan dan dirubah. Ini dalam hal yang berkaitan dengan keimanan dengan kitab-kitab tersebut. Adapun yang berkaitan dengan pengamalannya, maka yang diamalkan hanyalah apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad semata. Adapun yang selainnya telah dihapus masa berlakunya dengan datangnya syari’at ini.
23. Wajibnya beriman kepada rosul, kita beriman bahwa semua rosul yang diutus oleh Alloh adalah benar, membawa kebenaran, benar (jujur) dalam berita yang dikabarjkan, dan benar pula dengan apa-apa yang telah diperintahkan. Dan beriman kepada mereka secara global, yakni para rosul yang tidak kita ketahui, dan secara rinci terhadap mereka yang telah kita ketahui. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
“Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang rosul sebelummu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghaafir: 78).[1].
Rosul yang telah diceritakan kepada kita dan kita telah mengetahuinya, maka kita mengimani mereka orang perseorangan. Sedangkan para nabi yang belum diceritakan kepada kita dan kita tidak mengetahuinya, maka kita mengetahui secara global. Rosul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam, sedang Rosul yang terakhir adalah Nabi Muhammad. Di antara mereka terdapat lima (5) rosul yang digelari ulul azmi yang nama mereka telah Alloh sebutkan secara bersamaan dalam dua ayat dalam Al Qur’an. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Ahzab:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ 
 “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dirimu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam.” (QS. Al Ahzab: 7).
Dan Dia berfirman dalam surat Asy Syuura:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ 
“Dia telah mensyari’atkan bagimu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy Syuura: 13). 
24. Beriman kepada hari akhir. Hari akhir adalah hari kiamat, dinamakan hari akhir karena hari itu adalah masa putaran terakhir bagi umat manusia. Karena manusia mengalami empat masa:
(a). Masa di perut ibunya.
(b). Dunia ini.
(c). Alam barzah.
(d). Hari kiamat.
Tidak ada masa putaran setelah itu, hanya ada dua kemungkinan, masuk Surga atau masuk Neraka.
Beriman kepada hari akhir masuk di dalamnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua yang dikabarkan oleh Nabi tentang apa-apa yang terjadi setelah kematian, masuk juga ke dalamnya adalah apa-apa yang akan terjadi di alam kubur. Yakni pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada orang-orang yang telah mati tentang Robb-nya, agama dan nabinya. Dan apa-apa yang akan manusia dapatkan di alam kubur, baik berupa kenikmatan atau siksaan.”
25. Wajibnya beriman kepada takdir, yang baik dan yang buruk. Hal itu dengan mengimani empat perkara:
(a). Mengimani bahwa Ilmu Alloh meliputi segala sesuatu baik secara global, secara rinci sejak dahulu hingga selama-lamanya.
(b). Mengimani bahwa Alloh telah mencatat takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat di Lauhul Mahfuzh.
(c). Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini telah terjadi di alam ini terjadi dengan kehendak Alloh, tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya.
(d). Mengimani bahwa Alloh menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah makhluk ciptaan Alloh, baik itu terjadi dengan perbuatan yang khusus dimiliki oleh-Nya, seperti menurunkan hujan, mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, atau perbuatan hamba dan perbuatan para makhluk, karena kehendak dan kemampuan. Sedangkan kehendak dan kemampuan adalah di antara sifat-sifat hamba. Sedangkan hamba dan sifat-sifatnya adalah makhluk Alloh. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah hasil ciptaan Alloh. Alloh telah mentakdirkan segala sesuatu hingga hari kiamat. Lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.
Apapun yang ditakdirkan atas seseorang tidak mungkin meleset darinya. Dan apapun yang tidak Dia takdirkan tidak akan menimpanya. Inilah keenam rukun iman yang telah dijelaskan oleh Rosululloh dan iman seorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani semua rukun-rukun tersebut. Kita memohon kepada Alloh agar Dia mengelompokkan kita semua ke dalam dereta orang-orang yang beriman kepada rukun-rukun tersebut. 
26. Faidah lain yang ada di dalam hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan. Ihsan adalah seseorang beribadah kepada Robb-nya dengan peribadatan raghbah (harapan) dan thalab (memohon), seolah-olah ia melihatnya, lalu ia suka untuk mencapainya. Ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Jika ia tidak sampai pada keadaan seperti ini, ia berada pada tingkatan yang kedua, yaitu beribadah kepada Alloh dengan peribadahan khauf (takut) dan harab (lari) dari siksa-Nya, oleh karena itu, Nabi bersabda, “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu,” yakni jika engkau tidak beribadah kepada-Nya, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. 
27. Pengetahuan tentang hari kiamat tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Alloh. Maka barangsiapa mengaku bahwa dia mengetahuinya maka dia pendusta. Pengetahuan tentang hari itu tidak diketahui oleh rosul yang paling utama dari kalangan Malaikat dan manysia, yaitu Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan Jibril. 
28. Hari kiamat memiliki tanda-tanda, sebagaimana Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
 فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا
“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.” (QS. Muhammad: 18). 
Dan ulama telah membagi tanda-tanda hari kiamat menjadi tiga macam:
  1. Yang telah berlalu.
  2. Senantiasa datang dalam bentuk yang baru.
  3. Tidak datang kecuali tepat menjelang hari kiamat. Dan itu adalah tanda-tanda kiamat yang besar, seperti: turunnya Isa bin Maryam, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj dan terbitnya matahari dari sebelah barat.
Nabi telah menyebutkan beberapa tanda hari kiamat, yaitu (budak wanita melahirkan tuannya), yakni seorang wanita yang statusnya hamba sahaya, lalu wanita tersebut melahirkan anak perempuan, sampai anak tadi menjadi orang yang memiliki semisal ibunya. Ini merupakan ungkapan tentang cepat, banyak dan tersebarnya harta di tengah-tengah manusia. Dan yang memperkuat hal itu adalah perumpamaan yang datang setelahnya yaitu, “Engkau akan melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing saling berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.”
29. Baiknya pengajaran Nabi, yang mana beliau bertanya kepada sahabatnya, apakah mereka mengetahui orang yang bertanya tadi ataukah tidak? Dalam rangka memberikan pengajaran kepada mereka secara langsung (tanpa diawali dengan pertanyaan), karena jika beliau bertanya kepada mereka kemudian beliau memberitahukan hal itu kepada mereka setelah itu, maka yang demikian itu lebih mendorong untuk memahami dan meresapi apa yang beliau katakan. 
30. Orang yang bertanya tentang ilmu dapat dianggap sebagai orang yang memberikan pengajaran. Telah lewat isyarat akan hal itu. Akan tetapi, aku ingin menjelaskan bahwa seseorang harusnya bertanya apa-apa yang dibutuhkan oleh orang-orang, kendati ia mengetahuinya, dalam rangka mendapatkan pahala pengajaran. Dan Alloh-lah Dzat pemberi taufik. 
Diambil dari Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Pustaka Ar Rayyan – Kartasura.
_________________________________
[1]. Nama lain dari Surat Ghafir adalah Surat Al Mu’min (red).