>Hadits ke 10 Arba’in An Nawawiyah: Do’a dan Mengkonsumsi Barang yang Halal

Leave a comment

>

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى :  ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً – وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ – ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ
Dari Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Alloh Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Alloh telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk (melakukan) perintah yang disampaikan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Alloh: “Hai rosul-rosul makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amalan yang sholih.” Dan firman-Nya: (Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah kami anugerahkan kepadamu). Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh (lama), tubuhnya diliputi debu lagi kusut, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a, ‘Ya Robb-ku, ya Robb-ku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pikirannya haram dan ia diberi makan dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.”
(HR. Muslim).
Penjelasan:
“Sesungguhnya Alloh Maha Baik dan hanya menerima yang baik.” yakni Maha Baik pada dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Dan Dia hanya menerima yang baik pada dzatnya dan dalam hal perolehannya. Adapun hal yang buruk pada dzatnya. Contohnya khomer (minuman keras), atau dalam hal perolehannya, contohnya adalah mendapatkan harta dengan jalan riba, maka Alloh tidak menerima hal-hal tersebut.
“Sesungguhnya Alloh memerintahkan kaum mukminin untuk melakukan perintah yang disampaikan kepada para nabi.”
Lalu beliau membaca firman Alloh Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً
“Hai rosul-rosul makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amalan-amalan yang sholih.”
Alloh memerintahkan kepada para rosul yang mana perintah ini juga berlaku untuk kaum mukminin yaitu agar mereka memakan dari yang baik-baik adapun yang jelek/busuk sesungguhnya hal itu diharamkan atas mereka sebagaimana firman Alloh di dalam menyifatkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’raaf: 157).
Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menyebutkan seseorang yang memakan barang haram bahwasannya ia akan terjauhkan dari terkabulkan do’anya walaupun ia mendapati sebagian sebab terkabulnya do’a, seperti melakukan safar yang panjang nan berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan memohon “wahai Robb, wahai Robb.” Makanan, minuman, pakaian dan ditumbuh besarkan oleh hal-hal yang haram, maka dari mana akan terkabulkan do’anya. Orang ini disifati dengan empat sifat:

  1. Bahwasannya ia melakukan safar yang panjang dan safar itu merupakan tempat dikabulkannya do’a bagi yang berdo’a.
  2. Bahwasannya ia berambut kusut masai berdebu dan Alloh Ta’ala berada di hadapan orang-orang yang hati mereka itu luluh redam karenanya, dan Dia memandang kepada para hambanya pada hari arafah seraya berfirman: “Mereka mendatangi-Ku dalam keadaan rambut kusut masai berdebu.” dan kondisi ini juga berfungsi sebagai sebab dikabulkannya do’a.
  3. Bahwasannya ia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan membentangkan kedua tangannya ke langit itu sebagai sebab diijabahnya do’a, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala malu kepada hambanya apabila ia mengangkat kedua tangannya, kemudian menolaknya (tidak mengabulkannya).
  4. Do’anya kepada Alloh (wahai Robb, wahai Robb) adalah bentuk tawassul kepada Alloh dengan kerububiyahan-Nya dan itu bagian dari sebab terkabulkannya do’a akan tetapi do’anya tidak dikabulkan dikarenakan makanan, minuman, pakaiannya serta dagingnya tumbuh dari barang yang haram, maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menganggapnya jauh untuk dikabulkan do’a tersebut, beliau bersabda, “Maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.”
Faidah yang bisa diambil dari hadits ini:
  1. Tersifatinya Alloh dengan sifat Ath Thayyib secara dzat dan perbuatan.
  2. Pensucian Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dari segala bentuk kekurangan.
  3. Bahwa amalan itu ada yang diterima dan ada pula yang tidak diterima.
  4. Bahwa Alloh Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan kepada para hambanya baik dari kalangan rosul atau umatnya untuk memakan dari makanan yang baik dan mensyukuri Alloh dengannya.
  5. Bersyukur merupakan amalan sholih sebagaimana firman Alloh Ta’ala, “Hai rosul-rosul makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amalan-amalan yang sholih.” Dan Alloh Ta’ala berfirman untuk orang-orang mukmin, “Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Alloh.” (QS. Al Baqarah: 172). Maka itu menunjukkan bahwa bersyukur adalah amalan sholih.
  6. Termasuk persyaratan dikabulkannya do’a ialah menjauhi makanan yang diharamkan sesuai dengan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tentang orang yang makanan, pakaian dan dagingnya yang ditumbuhkan dengan barang-barang haram: “Maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.”
  7. Di antara penyebab dikabulkannya do’a adalah seseorang berada di dalam safar.
  8. Di antara penyebab dikabulkannya do’a adalah dengan mengangkat kedua tangan kepada Alloh.
  9. Di antara penyebab dikabulkannya do’a adalah bertawasul kepada Alloh dengan kerububiyahan-Nya, karena dengan itulah Alloh menciptakan makhluk dan mengaturnya.
  10. Bahwasannya rosul juga dibebani untuk menjalankan ibadah-ibadah sebagaimana kaum mukminin juga demikian.
  11. Wajibnya bersyukur kepada Alloh atas segala kenikmatannya sesuai dengan firman-Nya, “Dan bersyukurlah kepada Alloh.”
  12. Sepantasnya bahkan wajib bagi setiap manusia untuk menjalaknan sebab-sebab yang dengan sebab-sebab itu diperolehnya maksud dan menjauhi sebab-sebab yang menjadikan terhalangnya apa yang dimaukan.

>Hadits 9 Arbain An Nawawiyah: Pembebanan Syariat Sesuai dengan Kemampuan

Leave a comment

>

hajj 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
Dari Abu Hurairah Abdullah bin Syakhr rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata, “Aku telah mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Apa-apa yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa-apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, adalah banyak bertanya dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
مَا” dalam sabda Nabi, “Apa-apa yang aku larang, ” dan di dalam sabdanya, “Apa-apa yang aku perintahkan,” adalah “مَا” syarthiyah (kata syarat), yakni apapun yang telah dilarang bagi kalian maka jauhilah hal itu seluruhnya, dan janganlah kalian melakukannya sedikitpun juga, karena menjauhi perbuatan tersebut lebih mudah daripada mengerjakannya, semua orang telah mengetahui hal tersebut. Adapun perkara yang diperintahkan, beliau bersabda, “Dan apa-apa yang aku perintahkan, kerjakanlah semampu kalian.” Karena perkara yang diperintahkan adalah perbuatan, dan terkadang hal itu memberatkan manusia. Oleh karena itu, Nabi telah membatasi hal itu dengan sabdanya, “maka kerjakanlah semampu kalian.”

Dari hadits ini dapat dipetik sekian faidah, diantaranya adalah:
  1. Wajibnya menjauhi apa-apa yang telah dilarang oleh Rosululloh, lebih-lebih lagi apa yang dilarang oleh Alloh. Ini berlaku jika tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa larangan itu untuk menunjukkan hukum makruh saja.
  2. Tidak boleh melakukan perbuatan yang dilarang, bahkan yang wajib adalah menjauhi hal itu seluruhnya, dan itu berlaku jika itu tidak dalam keadaan darurat (terpaksa) yang membolehkan dilakukannya perkara itu dalam hal seperti ini.
  3. Wajibnya mengerjakan apa-apa yang diperintahkan, dan hal ini berlaku selama tidak ada dalil apapun yang menunjukkan bahwa perintah tersebut untuk istihbab (sunnah) saja.
  4. Tidak wajib bagi seseorang untuk melakukan lebih banyak dari apa yang dia mampu.
  5. Mudahnya agama Islam, yang mana agama ini tidak melimpahkan kewajiban atas seseorang kecuali apa-apa yang mampu.
  6. Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakan sebagian hal-hal yang diperintahkan maka cukuplah baginya untuk mengerjakan sesuai dengan kesanggupannya. Oleh karena itu, orang yang tidak mampu sholat dengan berdiri, bisa sholat dengan duduk, orang yang tidak sanggup dengan duduk, bisa sholat dengan berbaring. JIka bisa ruku’, maka hendaknya ia ruku’, jika tidak mampu, maka ia bisa menggunakan isyarat ketika ruku’, demikian juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Seseorang mengerjakannya sesuai dengan kesanggupannya.
  7. Seseorang tidak sepatutnya banyak bertanya karena banyak bertanya terlebih lagi pada zaman turunnya wahyu akan mendatangkan pengharaman terhadap sesuatu yang (sebenarnya) tidak diharamkan, atau diwajibkannya sesuatu yang tidak diwajibkan. Akan tetapi, seseorang bertanya sebatas apa yang ia perlukan.
  8. Banyak bertanya dan menyelisihi para nabi adalah sebab-sebab kebinasaan, dan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kita.
  9. Peringatan agar tidak banyak bertanya dan tidak menyelisihi para nabi. Ketika kedua hal tersebut telah membinasakan orang-orang sebelum kita. Jika kita melakukan hal-hal diatas, maka kita hampir binasa, sebagaimana mereka pun binasa. 

>Hadits 8 Arba’in An Nawawiyah: Kehormatan Seorang Muslim

Leave a comment

>

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم    قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا  مِنِّي دِمَاءُهُمْ وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ

Dari Ibnu ‘Umar bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada illah yang hak untuk diibadahi kecuali Alloh, dan Muhammad adalah Rosululloh, mendirikan sholat, menunaikan zakat, jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Alloh Ta’ala.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
.
Penjelasan:
“Aku diperintahkan,” maksudnya adalah bahwa Alloh lah yang telah memerintahkan beliau. Beliau tidak menyebutkan subjeknya, karena hal itu telah dimaklumi, karena yang memerintahkan dan yang melarang hanyalah Alloh.
“Memerangi manusia hingga mereka bersaksi,” ini berlaku umum, akan tetapi hadits ini telah dikhususkan oleh firman Alloh Ta’ala:
 قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh, tidak kepada hari akhir, tidak mengharamkan perkara yang diharamkan oleh Alloh dan Rosulnya, dan tidak memeluk agama yang haq, yaitu orang-orang yang diberi Al Kitab hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah: 29)
Demikian pula hadits lainnya telah menyebutkan bahwa manusia diperangi hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (upeti).

Di antara faidah hadits ini adalah:
  1. Wajib memerangi manusia hingga mereka mau masuk ke dalam agama Islam atau membayar upeti (jika mereka tidak mau masuk ke dalam Islam) berdasarkan hadits ini dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sebutkan.
  2. Orang yang tidak mau membayar zakat boleh untuk diperangi. Oleh karena itu Abu Bakar telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
  3. Orang yang secara fisiknya beragama Islam maka batinnya (apa yang ada di dalam hatinya) diserahkan kepada Alloh Ta’ala. Oleh karena itu beliau bersabda, “Jika mereka telah melakukan itu, akan terjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Alloh.”
  4. Penetapan adanya hisab (perhitungan amalan), yakni bahwa amalan manusia akan dihisab. Jika amalannya baik, maka balasannya akan baik pula, jika amalannya itu buruk maka balasannya akan buruk pula. Alloh Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarahpun niscaya Dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarahpun niscaya Dia akan melihat (balasannya).” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

>Hadits 7 Arba’in An Nawawiyah: Agama Adalah Nasihat

Leave a comment

>

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ قَالَ : الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
Dari Abi Ruqayah Tamim bin Aus Ad-Daari bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, ‘Bagi siapa?’ Beliau menjawab, “Bagi Alloh, bagi kitab-Nya, bagi Rosul-Nya, bagi para pemimpin kaum muslimin dan bagi kaum muslimin pada umumnya.”
(HR. Muslim)
Penjelasan:
Nasihat bagi Alloh adalah nasihat bagi agama-Nya, demikian pula dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, membenarkan berita-berita-Nya, melaksanakan syiar-syiar dan syari’at-syari’at Islam lainnya.
Nasihat bagi kitab-Nya adalah beriman bahwa ia adalah firman Alloh, beriman pula bahwa kitab itu memuat berita-berita yang benar, hukum-hukum yang adil, kisah-kisah yang bermanfaat dan wajib hukumnya untuk berhukum dalam segenap urusan kita.

Nasihat bagi rosul-Nya yaitu dengan beriman kepadanya, dan beriman pula bahwa beliau adalah rosul yang Alloh utus kepada segenap makhluk, mencintai dan meneladani beliau, mempercayai berita yang beliau sampaikan, melaksanakan perintah-perintahnya, menjauhi larangannya dan membela agamanya.
Nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah menasihati mereka, yaitu menjelaskan kebenaran, tidak meresahkan mereka, sabar terhadap apa-apa yang diperbuat oleh mereka, baik berupa hal-hal yang menyakitkan atau yang lainnya, yaitu berupa hak-hak mereka yang telah dikenal, membantu dan menolong mereka dalam perkara-perkara yang hukumnya wajib untuk dibantu, seperti mengusir musuh dan yang semisalnya.
Nasihat bagi kaum muslimin pada umumnya, yaitu bagi seluruh kaum muslimin, yaitu menyampaikan nasihat-nasihat kepada mereka dengan berdakwah kepada Alloh, melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi munkar, mengajarkan kebaikan kepada mereka dan lain-lain.
Dengan hal-hal itu, maka jadilah agama ini nasihat, dan yang pertama kali masuk dalam komunitas kaum muslimin adalah diri orang itu sendiri, maksudnya seseorang hendaknya menasihati dirinya sendiri.
Hadits ini memuat beberapa faidah di antaranya adalah:
  1. Terbatasnya agama pada nasihat, berdasarkan sabda Nabi, “Agama adalah nasihat.”
  2. Sasaran nasihat adalah lima yaitu bagi Alloh, Kitab-Nya, Rosul-Nya, Pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.
  3. Anjuran untuk memberikan nasihat kepada kelima perkara di atas karena jika kelima perkara tersebut adalah ajaran agama, maka tentunya, seseorang tidak diragukan lagi akan menjaga agamanya dan berpegang teguh dengannya. Karena itulah Nabi telah menjadikan nasihat itu pada kelima perkara ini.
  4. Diharamkan perbuatan khianat/menipu, karena jika nasihat ini bertentangan dengan ajaran agama, maka “menipu” ini adalah kebalikan dari nasihat, sehingga ini bertentangan dengan ajaran agama. Dan telah tsabit riwayat dari Rosululloh bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa berbuat ‘menipu’ terhadap kami maka ia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Muslim).

>Hadits 6 Arba’in An Nawawiyah: Halal dan Haram

Leave a comment

>

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Dari Abi Abdillah An Nu’man bin Basyir rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata, “Aku telah mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas, dan perkara yang haram telah jelas. Dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang meragukan, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka ia telah menjaga keselamatan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang jatuh dalam syubhat, berarti ia terjerumus dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah terlarang sehingga hewan-hewan itu nyaris merumput di dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa dalam tubuh terdapat mudghah (segumpal daging), jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan
Nabi telah membagi perkara ini menjadi tiga:
1. Perkara yang jelas kehalalannya, yang tidak ada keraguan padanya.
2. Perkara yang jelas keharamannyam, yang tidak ada keraguan padanya.
Kedua perkara ini jelas. Adapun perkara yang halal, hukumnya adalah halal. Seseorang tidak berdosa untuk melakukannya. Dan perkara yang haram, hukumnya pun haram, seseorang berdosa jika melakukannya. Contoh yang pertama: Halalnya hewan ternak. Contoh yang kedua haramnya khamr (minuman keras).

3. Adapun yang ketiga adalah perkara yang syubhat (meragukan) dari segi hukumnya, apakah hal itu hukumnya halal ataukah haram? Hukum hal itu samar bagi kebanyakan manusia. Hanya saja hal itu telah diketahui oleh yang lainnya. Inilah yang disinyalir oleh Rosululloh, bahwa sikap hati-hati adalah meninggalkan perkara tersebut, dan agar orang-orang tidak terjerumus ke dalamnya. Oleh karena itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat berarti ia telah menjaga keselamatan agama dan kehormatan dirinya.” dengan Alloh dan menjaga kehormatannya dalam perkara yang berkaitan antara dirinya dengan orang lain. sehingga mereka tidak mengatakan: ‘si Fulan telah terjatuh dalam perkara yang haram dimana orang-orang itu mengetahuinya, sedangkan orang yang bersangkutan beranggapan bahwa hal itu adalah perkara yang samar, kemudian Nabi memberikan perumpamaan akan hal tersebut dengan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di daerah terlarang, yaitu di sekitar tanah lindung yang tidak digunakan sebagai tempat untuk menggembala, maka tempat itu menarik hewan ternak untuk berjalan ke sana dan merumput di dalamnya (seperti seorang penggembala yang menggembala ternaknya di sekitar tanah lindung, sehingga hewan-hewan itu nyaris merumput di sana).” Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki tanah larangan,” yakni sudah menjadi kebiasaan bahwa para raja melindungi lahan-lahannya yang didalamnya terdapat tanaman dan pepohonan yang banyak.
“Ketahuilah bahwa tanah larangan Alloh itu adalah keharaman-keharamannya,” yaitu apa yang telah diharamkan untuk para hambanya itulah yang menjadi larangannya, karena Dia telah mencegah mereka dari keterjerumusan ke dalamnya, kemudian beliau menerangkan bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasadnya akan menjadi baik, kemudian beliau menerangkan dengan sabdanya, “Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati/qolbu.” Ini sebagai isyarat wajib bagi setiap orang untuk memperhatikan apa yang ada didalam hatinya daripada hawa nafsu yang senantiasa menghembuskan was-wasnya hingga menjerumuskannya ke dalam perkara yang diharamkan dan syubhat.
Faidah yang dapat diambil dari hadits ini:
  1. Bahwa syariat Islam perkara yang halalnya jelas dan perkara yang haramnya pun jelas sedangkan hal-hal yang syubhat darinya hanyalah diketahui oleh sebagian orang saja.
  2. Seharusnya bagi setiap orang jika tersamarkan baginya suatu perkara apakah hal itu halal atau haram berusaha menjauhinya sampai nampak jelas kehalalan baginya.
  3. Bahwa seseorang jika terjerumus ke dalam perkara yang syubhat maka mudah baginya untuk terjerumus ke dalam perkara-perkara yang jelas (keharamannya) jika ia senantiasa melakukan perkara yang syubhat/tidak jelas/samar sesungguhnya jiwanya akan mengajaknya untuk melakukan sesuatu yang lebih jelas (keharamannya), maka pada saat itulah ia akan binasa.
  4. Bolehnya memberikan permisalan dalam rangka perkara yang bersifat maknawi dicontohkan dengan perumpamaan yang bersifat fisik yakni untuk menyerupakan hal yang bisa dicerna oleh akal dengan yang bisa diraba tujuannya untuk mendekatkan pemahaman.
  5. Baiknya metode pengajaran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dengan memberikan permisalan dan menjelaskannya.
  6. Tolak ukur kebaikan dan kerusakan itu ada pada hati, berdasarkan faidah ini bahwasannya wajib bagi setiap orang untuk memberikan perhatian yang khusus terhadap hatinya hingga menjadi hati yang lurus sebagaimana mestinya.
  7. Bahwa rusaknya amaliyah lahiriyah sebagai bukti nyata akan rusaknya batin sebagaimana sabda Nabi, “Jika ia baik maka seluruh jasadnya akan menjadi baik, seluruh jasadnya akan menjadi baik, dan jika ia rusak maka seluruh jasadnya akan menjadi rusak,” maka kerusakan amaliyah lahiriyah sebagai tanda rusaknya amaliyah batin (hati).

>Hadits 5 Arba’in An Nawawiyyah: Kemungkaran dan Kebid’ahan

Leave a comment

>

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ummul Mukminin Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu anha, dia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan Kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” [1]
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” [2]
Tentang hadits ini para ulama mengatakan, “Hadits ini merupakan timbangan amalan-amalan yang zhahir (nampak), sedangkan hadits Umar yang telah disebutkan di awal buku ini, yakni, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung dari niatnya.” Adalah timbangan amalan yang batin, karena setiap amalan memiliki niat dan bentuk. Bentuk inilah yang disebut dengan amalan zhahir, sedangkan niat adalah amalan yang sifatnya batin. 

Hadits ini mengandung beberapa faidah:
  1. Orang yang mengada-adakan dalam urusan ini –yakni Islam- perkara-perkara yang tidak ada asalnya, maka amalan itu tertolak, walaupun pelakunya memiliki niatan yang baik. Berdasarkan prinsip ini, maka seluruh bid’ah adalah tertolak dari pelakunya kendati ia memiliki niatan yang baik.
  2. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan sekalipun pada asalnya disyari’atkan, akan tetapi amalan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan cara-cara yang telah diperintahkan, maka amalan itu tertolak, berdasarkan riwayat kedua yang telah diriwayatkan oleh Muslim di atas.
Atas dasar ini, maka barangsiapa melakukan jual beli dengan cara yang diharamkan, maka jual beli tersebut batil dan barangsiapa yang melakukan sholat sunnah pada waktu yang terlarang tanpa adanya suatu sebab, maka sholatnya batil. Dan barangsiapa berpuasa pada hari raya (‘Idul Fitri/’Idul Adha), maka puasanya batil. Demikianlah seterusnya. Karena semua amalan tersebut tidak sesuai dengan perintah Alloh dan rosul-Nya, sehingga amalan tersebut tertolak. 
Diambil dari Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Pustaka Ar Rayyan – Kartasura.
_____________________
[1]. Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam Ash-Shulh/2697/Fath. Dan di dalam Al Aqdliyah/1718/17/Abdul Baqi.
[2]. Shahih dikeluarkan oleh Muslim di dalam Al Aqdliyah/1718/18/Abdul Baqi. Al Bukhari secara ta’liq 13/hal.329/Fath cetakan As Salafiyah.

>Hadits 4 Arba’in An Nawawiyyah: Amalan Tergantung Dari Akhirnya

Leave a comment

>

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا 
Dari Abu Abdirrahman Abdillah bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata, “Kami diberitahu oleh Rosululloh dan beliau adalah seorang yang jujur lagi terpercaya – Beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya telah disempurnakan salah seorang dari kalian dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk sperma, kemudian dia menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Alloh mengutus kepadanya Malaikat, kemudian ditiupkan ruh kepadanya, lalu Malaikat tersebut diperintahkan untuk menulis empat perkara; untuk menulis rezekinya, ajalnya dan amalan serta nasibnya (setelah mati) apakah ia celaka atau bahagia. Demi Alloh yang tidak ada ilah yang berhak di ibadahi selain Dia. Sesungguhnya salah seorang dari kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga jarak antara dirinya dengan Surga hanya satu hasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga dia memasukinya. Dan salah seorang di antara kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli Neraka, hingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya sehasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli Surga hingga dia memasukinya.” [1]
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ini adalah hadits ke-4 dari hadits Arba’in Nawawi. Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang proses penciptaan manusia di dalam perut ibunya dan penulisan ajal, rezeki dan lain-lainnya. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang jujur lagi terpercaya, yakni jujur dalam ucapannya, terpercaya dalam menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya.” Abdullah bin Mas’ud memberikan pendahuluan seperti ini, karena perkara ini adalah di antara perkara yang ghaib yang tidak dapat diketahui kecuali dengan perantaraan wahyu. Beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian di sempurnakan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari…..dan seterusnya.”
Hadits ini mengandung beberapa faidah:
1. Penjelasan tentang proses penciptaan manusia di dalam perut ibunya. Dan ia mengalami empat periodenisasi. (yang pertama) Periode Nuthfah (dalam bentuk sperma) selama empat puluh hari. (Kedua) Periode ‘Alaqah (gumpalan darah) selama empat puluh hari. (Ketiga) periode Mudhghah (gumpalan daging) selama 40 hari. (Keempat) Periode terakhir, adalah setelah ditiupnya ruh ke dalam tubuh janin. Janin mengalami proses perkembangan dalam perut ibunya dalam tahap perkembangan seperti ini.
2. Sebelum berumur empat bulan janin belum dapat dihukumi sebagai manusia yang hidup. Atas dasar ini, jika bayi itu keluar sebelum kandungan itu genap berumur empat bulan, maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak pula disholatkan, karena ia belum dapat disebut sebagai seorang manusia.
3. Setelah kandungan berusia empat bulan, ditiupkan ruh padanya. Maka (setelah itu) ia telah positif dihukumi sebagai manusia yang hidup. Jadi, jika setelah itu –kandungan itu keluar, maka ia dimandikan, dikafani dan disholatkan. Sebagaimana jika janin itu telah genap berusia sembilan bulan.
4. Adanya Malaikat yang diberi tugas untuk mengurusi rahim (kandungan). Berdasarkan sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Maka diutuslah Malaikat kepadanya,” yakni Malaikat yang diberi tugas untuk mengurusi rahim.
5. Keadaan manusia telah ditakdirkan ketika ia berada di dalam perut ibunya, yakni telah ditakdirkan rezekinya, amalannya, ajalnya dan apakah dia celaka ataukah bahagia.
6. Penjelasan tentang hikmah Alloh, bahwa segala sesuatu di sisinya (ditetapkan) dengan batas waktu tertentu dengan takdir, tidak dapat didahulukan, maupun diakhirkan.
7. Setiap orang wajib merasa takut dan cemas, karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan, “Bahwa seseorang beramal dengan amalan ahli Surga hingga jarak antara dirinya dan Surga hanya sehasta, lalu ia didahului oleh kitab (takdir), sehingga ia beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga ia memasukinya.”
8. Seorang manusia tidak sepantasnya berputus asa, karena bisa jadi seseorang melakukan kemaksiatan dalam waktu yang lama kemudian Alloh memberikan hidayah kepadanya, sehingga ia bisa mendapatkan petunjuk di akhir hayatnya. Jika ada orang yang bertanya, “Sesungguhnya Alloh membiarkan orang yang telah beramal dengan amalan ahli Surga, sampai jarak antara dirinya dan Surga hanya sehasta, lalu ia didahului oleh catatan takdir, sehingga ia beramal dengan amalan ahli Neraka? Apakah hikmah dibalik itu?”
Jawab, “Sesungguhnya hikmah dalam hal ini adalah orang yang beramal dengan amalan ahli Surga ini [2] , dia beramal dengan amalan Surga dalam hal-hal yang nampak di hadapan manusia, akan tetapi pada hakikatnya ia memiliki maksud yang busuk dan niatan yang rusak. Lalu niatan yang rusak itu mendominasi dirinya, sehingga ia meninggal dunia dalam keadaan su’ul khotimah (kematian yang jelek). Kita berlindung kepada Alloh dari hal itu. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan sabda beliau, “Hingga jarak antara dia dan Surga hanya sejengkal,” yakni kedekatan ajalnya, bukan kedekatannya pada surga dengan amalannya. 
Diambil dari Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Pustaka Ar Rayyan – Kartasura.
_____________________
[1]. Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam Bid’ul Khalqi/2208/Fath; Muslim di dalam Al-Qadar/2643/Abdul Baqi.
[2]. Pensyarah (Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullohu) mengatakan, “Telah ada hadits yang menerangkan akan hal itu. Telah dikeluarkan oleh al Bukhari dalam Al-Jihad/2898/Fath, Muslim di dalam Al-Iman/112/Abdul Baqi. “

>Hadits 3 Arba’in An Nawawiyyah: Rukun Islam

Leave a comment

>

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَ
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al Khaththab rodhiyallohu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Islam itu dibangun di atas lima perkara persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Alloh dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Makkah dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
(HR. Bukhari dan Muslim). 
Di dalam hadits ini Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menerangkan bahwa ISlam kedudukannya seperti sebuah bangunan yang menaungi dan melindungi orangnya dari dalam dan luar, dan beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwasannya Islam itu dibangun di atas lima perkara:
  1. Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Alloh, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,
  2. Menegakkan Sholat,
  3. Mengeluarkan Zakat,
  4. Berpuasa di bulan Ramadhan, dan
  5. Berhaji ke Makkah,
dan telah berlalu pembahasan atas semua rukun-rukun yang lima ini di dalam hadits ‘Umar bin Al Khaththab sebelum ini (hadits Jibril –red) maka hendaklah merujuk kepadanya.
Pertanyaan:
Apa faidah dari pencantuman hadits ini sekali lagi padahal kandungan hadits ini telah disebutkan di dalam hadits ‘Umar bin Al Khaththab rodhiyallohu ‘anhu?
Jawab:
Disebabkan oleh pentingnya topik ini sehingga penyusun berkehendak untuk memberikan penjelasan terhadap masalah ini dari satu sisi dan di sisi yang lain bahwa di dalam hadits Abdullah bin ‘Umar ini terdapat penjelasan bahwa Islam itu dibangun di atas lima perkara, adapun hadits ‘Umar bin Al Khaththab tidak dengan susunan kalimat seperti ini walaupun lahiriyahnya memberikan faidah demikian, dikarenakan beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda:
“Islam itu mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali Alloh dan Muhammad adalah utusan Alloh….dst.”
Diambil dari Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Pustaka Ar Rayyan – Kartasura. 

>Hadits 2 Arba’in An Nawawiyyah: Penjelasan Tentang Islam, Iman dan Ihsan

Leave a comment

>

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ
Dari ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu dia berkata,
“Pada suatu hari, ketika kami duduk bersama Rosululloh, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Hingga ia duduk di hadapan Nabi, lalu menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Lalu ia berkata, “Ya Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam?” Maka Rosululloh bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Illah yang diibadahi dengan hak, kecuali Alloh, dan Muhammad adalah utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitulloh, jika engkau mampu melakukannya. Orang itu berkata, “Engkau benar.” Dia (rowi) berkata, “Maka kamipun terheran-heran dengannya. Ia bertanya kepada Rosululloh, namun ia sendiri yang membenarkannya.” Lalu orang itu bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku tentang Iman?” Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Alloh, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, dan hari akhir serta engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” Dia berkata, “Engkau benar.” Lalu ia berkata lagi, “Kabarkanlah kepadaku tentang Ihsan?” Rosululloh bersabda, “Engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Dia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang hari Kiamat?” Beliau bersabda, “Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui dari yang bertanya.” Dia berkata, “Kalau begitu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya?” Beliau bersabda, “Ketika budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing serta berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” Dia berkata, “Kemudian orang itu pergi. Lalu aku tidak bertemu (dengan Rosululloh) beberapa waktu. Kemudian Rosululloh berkata kepadaku, “Ya ‘Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Rosululloh bersabda, “Dia adalah Jibril, Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.”
(HR. Muslim)

Dari hadits ini dapat dipetik banyak faidah, diantaranya adalah:
1. Di antara perilaku Nabi adalah bermajelis dengan para sahabatnya. Perilaku ini menunjukkan bagaimana baiknya budi pekerti beliau. Seorang manusia sepatutnya bergaul dengan sesamanya, dan bermajelis (dengan mereka) serta tidak mengucilkan diri dari mereka. 
2. Bergaul dengan sesama lebih baik daripada mengisolasi diri, selama ia tidak mengkhawatirkan agamanya, jika dia mengkhawatirkan agamanya, maka mengisolasi diri lebih baik, berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Akan terjadi sebentar lagi, dimana sebaik-baik harta seseorang adalah kambing yang diikutinya, hingga puncak bukit dan tempat yang dicurahi hujan.”
(HR. Bukhari (Al Iman/19/Fath)).
3. Para malaikat bisa menjelma di hadapan manusia dalam sosok manusia, karena Jibril muncul di hadapan para sahabat dengan gambaran yang telah disebutkan dalam hadits ini (Lelaki yang berambut hitam legam, berpakaian sangat putih dan tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang mengenalnya.
4. Baiknya etika seorang yang belajar di hadapan gurunya, dimana Jibril duduk di hadapan Nabi dengan cara duduk yang menunjukkan adab sopan santun, memasang telinganya, siap untuk menerima semua pelajaran yang akan disampaikan kepadanya, lalu dia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.
5. Bolehnya memanggil Nabi dengan namanya berdasarkan ucapan Jibril, “Wahai Muhammad,” ini mengandung kemungkinan hal itu terucapkan sebelum adanyab larangan, yakni sebelum adanya larangan dari Alloh agar tidak memanggil seperti itu dalam Firman-Nya:
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). ” (QS. An Nuur: 65)
Menurut salah satu penafsiran dari ayat ini, atau bisa juga mengandung kemungkinan bahwa panggilan seperti itu sudah menjadi kebiasaan orang arab badui yang datang kepada rosul, sehingga mereka memanggil dengan beliau dengan namanya, “Ya Muhammad,” dan inilah yang lebih dekat dengan kebenaran. Karena kemungkinan yang pertama butuh pada (pembuktian) sejarah.
6. Seorang boleh bertanya tentang sesuatu yang telah diketahui dalam rangka memberikan pelajaran kepada orang yang belum mengetahui, karena Jibril telah mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, berdasarkan ucapannya dalam hadits, “Engkau benar,” akan tetapi jika si penanya bermaksud agar orang yang berada di sekitar orang yang menjawab tersebut dapat mengambil pelajaran, maka yang seperti itu dapat dianggap memberikan pelajaran kepada mereka.
7. Orang yang menjadi sebab dapat dihukumi sama dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut secara langsung, jika perbuatan itu dilandasi oleh suatu sebab. Berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Dia adalah Jibril, Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.” Padahal orang yang memberikan pengajaran secara langsung (kepada para sahabat) adalah Rosululloh. Akan tetapi karena Jibril dengan pertanyaan yang ia lontarkan itu, maka Rosululloh menganggapnya sebagai orang yang memberikan pengajaran (kepada mereka).
8. Penjelasan bahwa rukun Islam ada lima, karena Nabi menjawab dengan jawaban yang seperti beliau Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang hak diibadahi dengan benar, kecuali Alloh, dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, membayat zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau berhaji ke Baitulloh, jika engkau mampu untuk melakukannya.”
9. Seseorang harus mengikrarkan syahadat dengan lisannya dan meyakini dengan hatinya, bahwa tidak ada Illah yang hak diibadahi dengan benar, kecuali Alloh. Maka ‘Ilah” adalah tidak ada sesembahan yang hak kecuali Alloh. Engkau bersaksi dengan lisanmu dan meyakini dengan hatimu bahwa tidak ada sesembahan apapun yang hak –dari segenap makhluk, baik dari kalangan nabi, wali orang-orang sholih, pepohonan, bebatuan dan lain-lainnya, kecuali Alloh. Dan segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh adalah batil. Sebagaimana Firman Alloh Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Alloh) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Alloh, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batil, dan sesungguhnya Alloh, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62).
10. Agama ini tidak sempurna kecuali dengan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Beliau adalah Muhammad bin Abdillah Al Quraisyi (dari suku Quraisy) Al Hasyimi (dari kalangan Bani Hasyim). Barangsiapa ingin mengetahui secara lengkap ihwal rosul yang mulia ini, hendaknya ia membaca Al Qur’an, hadits dan kitab-kitab tarikh (buku sejarah Islam).
11. Rosululloh telah menyatukan syahadat “Laa Ilaaha Illalloh” dan “Muhammad Rosululloh” ke dalam satu rukun. Yang demikian itu karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengan dua perkara ini, yakni: Ikhlas untuk Alloh (memurnikan peribadatan hanya untuk Alloh semata). Inilah yang dikandung oleh syahadat bahwa tiada ilah yang diibadahi dengan benar kecuali Alloh. Dan mutaba’ah (mengikuti), maka inilah yang dikandung dari syahadat bahwa Muhammad utusan Alloh. Oleh karena itu nabi menyatukan kedua syahadat ini ke dalam satu rukun dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Islam dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tiada Ilah yang diibadahi dengan benar kecuali Alloh, dan Muhammad adalah hamba dan rosul-Nya, mendirikan sholat……..” dst.
(HR. Bukhari dan Muslim).
12. Keislaman seorang hamba tidak sempurna hingga ia mendirikan sholat. Mendirikan sholat yaitu dengan mengerjakan sholat tersebut dengan istiqomah, sesuai dengan tuntunan yang telah dibawa oleh syari’at. Mendirikan sholat ini ada yang dikerjakan sekedar yang wajib-wajibnya saja, dan ada yang dikerjakan secara sempurna. Yang wajib dalam sholat adalah dengan melakukan batas minimal dari hal-hal yang telah diwajibkan dalam sholat tersebut. Sedangkan pelaksanaan sholat yang sempurna yaitu dengan melaksanakan berbagai hal yang dapat menyempurnakan pelaksanaan sholat tersebut sesuai dengan apa yang telah dikenal dalam Al Qur’an, hadits-hadits nabi dan ucapan-ucapan para ulama.
13. Keislaman seorang hamba tidak sempurna hingga menunaikan zakat. Zakat adalah harta yang diwajibkan berupa harta-harta yang dikenai zakat, mengeluarkan dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Alloh telah menjelaskan hal ini dalam surat At Taubah dalam firman Alloh Ta’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Alloh dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Alloh; dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 60).
14. Adapun puasa Ramadhan, ialah beribadah kepada Alloh dengan menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan, dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Ramadhan adalah bulan diantara bulan Sya’ban dan bulan Syawwal. Adapun berhaji ke Baitulloh, ialah menuju Makkah untuk melaksanakan manasik haji dan disyaratkan adanya kemampuan, karena secara umum di dalam pelaksanaannya ditemui berbagai hal yang memberatkan dan menyulitkan. Tidak hanya pada ibadah haji semata, ternytata seluruh kewajiban yang disyari’atkan adanya faktor kemampuan. Berdasarkan firman Alloh Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kemampuanmu.” (QS. At-Taghaabun: 16).
15. Dan diantara faidah yang telah dibakukan oleh para ulama adalah, “tidak ada kewajiban bersama ketidakmampuan, dan tidak ada keharaman bersama keadaan darurat.”
16. Utusan dari kalangan Malaikat (Jibril) mensifati utusan dari kalangan manusia (Rosululloh) dengan sifat benar (jujur). Sungguh Jibril telah berlaku benar pada apa yang telah ia sifatkan kepada Rosululloh dengan sifat yang benar (jujur), karena memang Nabi adalah makhluk yang paling benar.
17. Kecerdasan para sahabat yang mana mereka merasa keheranan. Bagaimana mungkin seorang yang bertanya menilai benar orang yang ditanya. Pada umumnya, orang yang bertanya tidak mengetahui. Sedangkan orang yang tidak mengetahui tidak mungkin menghukumi ucapan seseorang bahwa dia benar atau dusta. Akan tetapi kebenaran itu hilang setelah Nabi mengatakan, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.”
18. Keimanan mencakup enam perkara: Beriman kepada Alloh, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan yang buruk.
19. Pembedaan antara Islam dan Iman. Hal ini ketika kedua kata itu disebutkan secara bersama-sama. Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan (amalan zhahir) sedangkan iman dengan amalan-amalan hati (batin). Akan tetapi ketika salah satu kata itu disebutkan begitu saja (tanpa diiringi dengan yang lainnya), maka masing-masing dari kata itu mencakup kata yang lainnya. Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (QS. Al Maa’idah: 3).
Dan Firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam.” (QS. Ali Imran: 85). Mencakup Islam dan Iman. Firman Alloh Ta’ala:
وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan bahwasannya Alloh bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 19). Dan ayat-ayat serupa lainnya yang mencakup iman dan Islam. Demikian pula dengan Firman-Nya:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin…” (QS. An Nisaa’: 92) mencakup Islam dan iman. Adapun jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing dari keduanya ditafsirkan dengan makna yang telah ditunjukkan oleh hadits ini.
20. Keimanan kepada Alloh adalah rukun iman yang paling penting dan paling besar. Oleh karena itu, Nabi menyebutkannya lebih dahulu. Beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh.” Keimanan kepada Alloh mencakup keimanan kepada wujud-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Jadi, keimanan kepada Alloh tidak hanya beriman kepada wujud-Nya semata. Akan tetapi harus mencakup keimanan kepada empat perkara ini, yakni beriman kepada wujud, rububiyah, uluhiyah, nama dan sifat-sifat-Nya.
21. Menetapkan adanya Malaikat. Malaikat adalah makhluk ghaib yang telah Alloh sifati dengan banyak sifat dalam Al Qur’an dan telah disifati oleh Nabi dalam hadits-haditsnya, cara beriman kepada mereka adalah dengan mengimani nama-nama mereka yang telah diketahui. Sedangkan para malaikat yang belum diketahui nama-namanya, kita mengimaninya secara global dan kita harus mengimani amalan-amalan yang mereka kerjakan yang telah kita ketahui. Kitapun mengimani sifat-sifat yang mereka miliki sebatas apa yang telah kita ketahui. Di antaranya, Nabi pernah melihat Malaikat Jibril –dalam bentuk aslinya- memiliki enam ratus sayap yang menutupi ufuk. Kewajiban kita berkenaan dengan Malaikat adalah kita mempercayai dan mencintai mereka, karena mereka adalah para hamba Alloh yang senantiasa melaksanakan perintah-Nya. Alloh Ta’ala berfirman:
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا يَسْتَحْسِرُونَ يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ
“Dan Malaikat yang ada di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al Anbiyaa’: 19-20).
22. Wajibnya beriman dengan kitab-kitab yang Alloh turunkan kepada rosul-Nya. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rosul-rosul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan)…” (QS. Al Hadiid: 25).
Kita beriman kepada semua kitab yang telah Alloh turunkan kepada rosul-rosul-Nya, akan tetapi kita mengimaninya secara global dan mempercayai bahwa kitab-kitab itu adalah haq (benar). Adapun secara rinci, kitab-kitab terdahulu mengalami penyelewengan, perubahan, penggantian. Seseorang tidak mungkin dapat menilai mana yang hak dan mana yang batil. Atas dasar itu, kita katakan, “Kita beriman kepada kitab-kitab yang telah Alloh turunkan tersebut secara global. Adapun secara rinci kita merasa khawatir itu adalah diantara hal-hal yang telah diselewengkan dan dirubah. Ini dalam hal yang berkaitan dengan keimanan dengan kitab-kitab tersebut. Adapun yang berkaitan dengan pengamalannya, maka yang diamalkan hanyalah apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad semata. Adapun yang selainnya telah dihapus masa berlakunya dengan datangnya syari’at ini.
23. Wajibnya beriman kepada rosul, kita beriman bahwa semua rosul yang diutus oleh Alloh adalah benar, membawa kebenaran, benar (jujur) dalam berita yang dikabarjkan, dan benar pula dengan apa-apa yang telah diperintahkan. Dan beriman kepada mereka secara global, yakni para rosul yang tidak kita ketahui, dan secara rinci terhadap mereka yang telah kita ketahui. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
“Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang rosul sebelummu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghaafir: 78).[1].
Rosul yang telah diceritakan kepada kita dan kita telah mengetahuinya, maka kita mengimani mereka orang perseorangan. Sedangkan para nabi yang belum diceritakan kepada kita dan kita tidak mengetahuinya, maka kita mengetahui secara global. Rosul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam, sedang Rosul yang terakhir adalah Nabi Muhammad. Di antara mereka terdapat lima (5) rosul yang digelari ulul azmi yang nama mereka telah Alloh sebutkan secara bersamaan dalam dua ayat dalam Al Qur’an. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Ahzab:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ 
 “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dirimu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam.” (QS. Al Ahzab: 7).
Dan Dia berfirman dalam surat Asy Syuura:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ 
“Dia telah mensyari’atkan bagimu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy Syuura: 13). 
24. Beriman kepada hari akhir. Hari akhir adalah hari kiamat, dinamakan hari akhir karena hari itu adalah masa putaran terakhir bagi umat manusia. Karena manusia mengalami empat masa:
(a). Masa di perut ibunya.
(b). Dunia ini.
(c). Alam barzah.
(d). Hari kiamat.
Tidak ada masa putaran setelah itu, hanya ada dua kemungkinan, masuk Surga atau masuk Neraka.
Beriman kepada hari akhir masuk di dalamnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua yang dikabarkan oleh Nabi tentang apa-apa yang terjadi setelah kematian, masuk juga ke dalamnya adalah apa-apa yang akan terjadi di alam kubur. Yakni pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada orang-orang yang telah mati tentang Robb-nya, agama dan nabinya. Dan apa-apa yang akan manusia dapatkan di alam kubur, baik berupa kenikmatan atau siksaan.”
25. Wajibnya beriman kepada takdir, yang baik dan yang buruk. Hal itu dengan mengimani empat perkara:
(a). Mengimani bahwa Ilmu Alloh meliputi segala sesuatu baik secara global, secara rinci sejak dahulu hingga selama-lamanya.
(b). Mengimani bahwa Alloh telah mencatat takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat di Lauhul Mahfuzh.
(c). Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini telah terjadi di alam ini terjadi dengan kehendak Alloh, tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya.
(d). Mengimani bahwa Alloh menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah makhluk ciptaan Alloh, baik itu terjadi dengan perbuatan yang khusus dimiliki oleh-Nya, seperti menurunkan hujan, mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, atau perbuatan hamba dan perbuatan para makhluk, karena kehendak dan kemampuan. Sedangkan kehendak dan kemampuan adalah di antara sifat-sifat hamba. Sedangkan hamba dan sifat-sifatnya adalah makhluk Alloh. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah hasil ciptaan Alloh. Alloh telah mentakdirkan segala sesuatu hingga hari kiamat. Lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.
Apapun yang ditakdirkan atas seseorang tidak mungkin meleset darinya. Dan apapun yang tidak Dia takdirkan tidak akan menimpanya. Inilah keenam rukun iman yang telah dijelaskan oleh Rosululloh dan iman seorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani semua rukun-rukun tersebut. Kita memohon kepada Alloh agar Dia mengelompokkan kita semua ke dalam dereta orang-orang yang beriman kepada rukun-rukun tersebut. 
26. Faidah lain yang ada di dalam hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan. Ihsan adalah seseorang beribadah kepada Robb-nya dengan peribadatan raghbah (harapan) dan thalab (memohon), seolah-olah ia melihatnya, lalu ia suka untuk mencapainya. Ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Jika ia tidak sampai pada keadaan seperti ini, ia berada pada tingkatan yang kedua, yaitu beribadah kepada Alloh dengan peribadahan khauf (takut) dan harab (lari) dari siksa-Nya, oleh karena itu, Nabi bersabda, “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu,” yakni jika engkau tidak beribadah kepada-Nya, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. 
27. Pengetahuan tentang hari kiamat tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Alloh. Maka barangsiapa mengaku bahwa dia mengetahuinya maka dia pendusta. Pengetahuan tentang hari itu tidak diketahui oleh rosul yang paling utama dari kalangan Malaikat dan manysia, yaitu Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan Jibril. 
28. Hari kiamat memiliki tanda-tanda, sebagaimana Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
 فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا
“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.” (QS. Muhammad: 18). 
Dan ulama telah membagi tanda-tanda hari kiamat menjadi tiga macam:
  1. Yang telah berlalu.
  2. Senantiasa datang dalam bentuk yang baru.
  3. Tidak datang kecuali tepat menjelang hari kiamat. Dan itu adalah tanda-tanda kiamat yang besar, seperti: turunnya Isa bin Maryam, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj dan terbitnya matahari dari sebelah barat.
Nabi telah menyebutkan beberapa tanda hari kiamat, yaitu (budak wanita melahirkan tuannya), yakni seorang wanita yang statusnya hamba sahaya, lalu wanita tersebut melahirkan anak perempuan, sampai anak tadi menjadi orang yang memiliki semisal ibunya. Ini merupakan ungkapan tentang cepat, banyak dan tersebarnya harta di tengah-tengah manusia. Dan yang memperkuat hal itu adalah perumpamaan yang datang setelahnya yaitu, “Engkau akan melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing saling berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.”
29. Baiknya pengajaran Nabi, yang mana beliau bertanya kepada sahabatnya, apakah mereka mengetahui orang yang bertanya tadi ataukah tidak? Dalam rangka memberikan pengajaran kepada mereka secara langsung (tanpa diawali dengan pertanyaan), karena jika beliau bertanya kepada mereka kemudian beliau memberitahukan hal itu kepada mereka setelah itu, maka yang demikian itu lebih mendorong untuk memahami dan meresapi apa yang beliau katakan. 
30. Orang yang bertanya tentang ilmu dapat dianggap sebagai orang yang memberikan pengajaran. Telah lewat isyarat akan hal itu. Akan tetapi, aku ingin menjelaskan bahwa seseorang harusnya bertanya apa-apa yang dibutuhkan oleh orang-orang, kendati ia mengetahuinya, dalam rangka mendapatkan pahala pengajaran. Dan Alloh-lah Dzat pemberi taufik. 
Diambil dari Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Pustaka Ar Rayyan – Kartasura.
_________________________________
[1]. Nama lain dari Surat Ghafir adalah Surat Al Mu’min (red).

>Hadits 1 Arba’in An Nawawiyyah: Amal Perbuatan Tergantung Niatnya

Leave a comment

>

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Amirul Mukminin Abi Hafshin ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini merupakan prinsip dasar yang begitu agung dalam permasalahan amalan-amalan hati. Karena niat termasuk amalan hati. Para ulama mengatakan hadits ini adalah setengah ibadah, karena ia merupakan timbangan amalan-amalna batin. Sedangkan hadits Aisyah yang berbunyi:
“Barangsiapa mengada-adakan dalma urusan kami perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu akan tertolak.”
(HR. Bukhari (Ash-Shulth/2697/Fath) dan Muslim (Al Aqdhiyah/1718/17/Abdul Baqi).
Dalam lafazh lain:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami maka amalan itu tertolak.”
(HR. Muslim (Al-Aqdliyah/1718/18/Abdul Baqi), Bukhari secara ta’liq (13/hal. 329/fath) cetakan As-Salafiyah).

Hadits ini adalah setengah agama, karena hadits ini merupakan timbangan amalan yang zhahir (nampak). Jadi dapat dipetik faidah dari hadits, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niatnya.” Bahwa amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang berakal tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa niat, hingga sebagian ulama mengatakan, “Sekiranya Alloh membebani suatu amalan kepada kita tanpa didasari oleh niat, tentunya hal itu merupakan suatu pembebanan yang tidak mampu untuk dilakukan.”
Bercabang dari faidah ini adalah, bantahlah terhadap orang-orang yang terhinggapi penyakit was-was yang mengulang-ulang suatu amalan beberapa kali, hingga setan membisikan kepada mereka, “Sesungguhnya kalian belum memasang niat.” Kami katakan kepada mereka (orang yang was-was itu). Tidak, tidak mungkin engkau melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh niat. Janganlah kalian membebani diri-diri kalian dan tinggalkan perasaan was-was seperti itu.
Di antara faidah dari hadits ini:
  1. Bahwa seseorang diberi pahala, berdosa atau terhalang (mendapatkan sesuatu) dengan sebab niatnya. Berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya.” 
  2. Sesungguhnya amalan itu tergantung dari tujuannya. Bisa jadi suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Alloh. Oleh karena itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Makan sahurlah, sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat berkah.” (HR. Bukhari (Ash Shaum/1923/Fath) dan Muslim (Ash-Shiyam/1095/Abdul Baqi). 
  3. Seorang pengajar sepatutnya memberikan pengumpamaan yang dapat memperjelas suatu hukum. Nabi telah memberikan perumpamaan dalam hal ini dengan hijrah. Hijrah ialah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Dan beliaupun menjelaskan bahwa hijrah adalah amalan yang bisa menjadi pahala ataupun keterhalangan (memperoleh pahala) bagi orang yang melakukannya. 
  4. Seorang yang berhijrah kepada Alloh dan Rosul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia terhalang mendapatkan pahala ini. 
  5. Hadits ini selain masuk dalam pembahasan ibadah, masuk pula dalam pembahasan muamalah, pernikahan, dan dalam permasalahan fiqih lainnya.
Diambil dari Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Pustaka Ar Rayyan – Kartasura