>

TNI AL
Ibnu Qudamah berkata:
“Bila Imam (Khalifah) meminta kaum Muslimin untuk keluar berperang. Maka wajib bagi yang ditunjuk oleh Khalifah wajib untuk memenuhi seruan.”
(Al Mughni, VIII/348).
Pernyataan diatas menegaskan bahwa Jihad dalam bentuk komando untuk melaksanakan peperangan adalah wewenang penuh Amirul Mukminin. Sebagaimana ditegaskan oleh Asy Syaikh Sholih al Fauzan (anggota Lajnah Da’imah/Majelis Ulama Kerajaan Saudi Arabia) dalam buku beliau berjudul “Jihad dan Semangat Pemuda”:
Sedangkan yang memerintahkan untuk berperang, serta menyusun strateginya adalah pemimpin kaum Muslimin. Karena sesungguhnya ini adalah bagian dari kecakapannya, baik hal itu ia jalankan oleh dirinya sendiri ataukah oleh seseorang yang menggantikannya. Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslimin untuk berjihad (sendiri) tanpa izin dari imam (penguasa)-nya, kecuali jika pada suatu keadaan dimana musuh mendatangi mereka tiba-tiba dan dikhawatirkan kejahatannya. Maka saat itulah mereka harus menghalau musuhnya. Perang semacam ini tidaklah membutuhkan izin dari imam, karena ini adalah upaya untuk menolak suatu mara bahaya.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda,
“Sesungguhnya Alloh telah ridha atas kalian tiga perkara. Agar kalian mengibadahi-Nya (semata) serta tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan agar kalian berpegang teguh dengan tali agama Alloh dan tidak berpecah belah, serta agar kalian menasihati seorang (penguasa) yang telah Alloh kuasakan urusan kalian padanya.”
(Imam Malik, dalam Al Muwaththa’ (2/990)).
Sehingga harus ada bagi kaum Muslimin kepemimpinan dan penguasa yang menyusun strategi perang dan jihad fi Sabilillah.
Seharusnya kaum Muslimin itu berada di bawah satu imam (penguasa), di bawah satu kepemimpinan, dan mereka adalah umat yang satu. Mereka tidak diperbolehkan adanya perpecahan dan perselisihan, lebih-lebih lagi dalam perkara-perkara jihad. Karena sesungguhnya jika mereka bersatu bersama imam (penguasa) mereka, di bawah kepemimpinannya, maka hal itu akan menjadikan mereka lebih kuat dan lebih membuat gentar musuh-musuh mereka. Adapun jika mereka (masih) berpecah, berselisih dan masing-masingnya berpandangan bahwa dirinyalah yang (paling berhak) mengaturnya, serta enggan untuk tunduk kepada imam (penguasa), maka disinilah terjadinya mala petaka atas kaum Muslimin.
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Alloh. Dan (ilmu) Alloh meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Anfal: 45-47).
Alloh memerintahkan kita untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan, sehingga semakin besar kekuatan kita, dan kesatuan kitapun tetap bahu-membahu. Tetapi apabila masing-masing dari kita menjadi pemberi fatwa (mufti) bagi dirinya sendiri dan tidak merujuk kepada pimpinan, maka inilah perpecahan –wa ‘iyaadzubillah, dan ini menggembirakan para musuh.
Sedangkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Alloh orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imran: 103).
Dan telah bersabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Sesungguhnya Alloh telah ridha atas kalian tiga perkata. Agar kalian mengibadahi-Nya (semata) dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan agar kalian berpegang teguh dengan tali agama Alloh serta tidak berpecah belah….”
(Riwayat Imam Malik).
Maka haruslah ada satu komando dan satu kepemimpinan bagi kaum Muslimin. Wajib atas mereka untuk berhati-hati dari segala penyimpangan, perpecahan, serta perselisihan. Jihad dan peperangan tidak akan tersusun (dengan baik) kecuali dengan adanya seorang pemimpin (imam).
Urusan-urusan Jihad termasuk bagian dari kecakapan (keahlian) imam, karena sesungguhnya ini bukanlah perkara yang enteng. Bahkan jihad merupakan sebuah perkara yang sangat penting, membutuhkan persatuan, kekuatan, keteraturan dan persiapan. Oleh karena itu, haruslah ada izin dari imam (penguasa) dan komando imam tersebut. Inilah (yang dinamakan) Jihad Fii Sabilillah. Dan tujuan Jihad ini adalah untuk meninggikan kalimat Alloh, menyebarkan agama ini, serta mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. 
Perjuangan menghadapi Belanda atas Perintah Imam (Penguasa).
Dalam kaitannya dengan sepak terjang DI/TII, dimana gerakan ini dimulai ketika terjadi Agresi Militer Belanda ke-I pada tanggal 21 Juli – 5 Agustus 1947, perjuangan menghadapi Belanda dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, adalah perintah imam atau pemimpin Indonesia ketika itu.
Berbagai perundingan telah dilakukan, baik sebelum maupun sesudah Agresi ke-I tersebut. Demikian pula dengan perjuangan bersenjata, yang puncaknya terjadi pada tanggal 1 Maret 1949 (lebih kita kenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret) atas kedudukan Belanda di Yogyakarta dan kemudian menyusul Serangan Umum atas kota Solo (atau Pertempuran 4 hari di Kota Solo) pada tanggal 7 – 11 Agustus 1949. Semua perjuangan bersenjata itu tidaklah dilakukan secara sepihak, melainkan atas persetujuan waliyul amri (sulthon/penguasa).
Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta pada 18 Desember 1948 (Agresi ke-II), Drs. Muhammad Hatta –waktu itu menjabat Perdana Menteri- menginstruksikan kepada tentara untuk melanjutkan perjuangan bersenjata, apapun yang terjadi dengan pemerintah. Pada tanggal 22 Desember 1948 dibentuk pemerintahan darurat militer untuk Pulau Jawa yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Tentara dan Territorium Jawa. Disamping Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk di Sumatera (dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara) untuk menunjukkan eksistensi NKRI kepada dunia Internasional.
Perjuangan bersenjata juga telah diperintahkan oleh pimpinan PDRI pada tanggal 23 Desember 1948 dalam pidatonya berikut ini:
“Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh.”
Strategi dan Konsolidasi.
Dan untuk menghindari dualisme kepemimpinan antara Jawa dan Sumatera, dilakukan konsolidasi dan pembentukan susunan pimpinan PDRI sebagai berikut:
  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
  • Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
  • Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
  • dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
  • Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
  • Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
  • Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
  • Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
  • Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
  • Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
  • Pejabat di bidang militer:
  • Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
  • Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
  • Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
  • Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
  • Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
  • Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.

Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:

  • Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
  • Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
  • R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
SM. Kartosuwirjo Tidak Punya Wewenang.
Melihat dari fakta di atas maka jelaslah sudah bahwa DI/TII dan Kartosuwirjo tidak memiliki wewenang untuk membentuk pemerintahan baru, terlebih lagi dalam menyusun komando Jihad. Klaim mereka bahwa NKRI sudah lenyap pasca Agresi Militer Belanda II 1948 juga tidak mendasar, karena toh NKRI masih ada sekalipun para pemimpinnya ditawan oleh Belanda. Eksistensi NKRI dalam bentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Mr. Syafrudin Prawiranegara.
Jika mereka beralasan tentang pemerintahan yang tidak berhukum dengan hukum Alloh, maka perhatikan pula perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dalam Sabdanya ketika berdialog dengan Huzdaifah Ibnu Yaman:
“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku, dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati syaithan dalam jasad ” Aku (Huzdaifah) berkata, “Ya Rosululloh apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau berkata, “Hendaklah kami mendengar dan taat kepada pemimpinmu, walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.”
(HR. Muslim).
Adapun tentang masalah jihad, maka perhatikan pula pernyataan Pimpinan PDRI, Syafruddin Prawiranegara, “Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh.” adalah senada dengan Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqarah: 190-191)
Dengan demikian, maka ketika itu secara otomatis imam telah mengeluarkan komando untuk melaksanakan jihad fi sabilillah dalam bentuk peperangan, sekalipun kita tahu bahwa peperangan tersebut menggunakan taktik gerilya bukan frontal. Maka hukum jihad di Indonesia saat itu adalah fardhu ‘ain sehingga haram bagi siapapun yang membelakangi musuh dan melarikan diri (kecuali untuk siasat perang).
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Alloh” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At Taubah: 38).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلا تُوَلُّوهُمُ الأدْبَارَ وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Alloh, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15-16)
Adapun apa yang dilakukan Kartosuwirjo dkk adalah murni pemberontakan, bukan Jihad Fi Sabilillah. Selama ini kita belum menemukan satu pun fakta yang menyebutkan bahwa DI/TII berperang melawan Belanda, melainkan fakta bahwa mereka memberontak kepada pemerintah Indonesia yang sah, dan keluar daripada ketaatan kepada amirul mukminin. Dimana ancaman bagi siapa saja yang keluar dari ketaatan tersebut adalah sangat buruk.
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukai pada diri amirnya, hendaknya dia bersabar. Sebab barangsiapa yang menyimpang dari jama’ah mesku sejengkal, lalu mati, maka ia mati jahiliyah.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Wallohu Musta’an.
Referensi: